Marhaban Ya Tilmidz/ah TAFDI

09 November 2015

[KISAH NYATA]: "Ketika Kegiatan Majelis di Musholla Harus Meminta Izin pada Seorang Preman Berilmu Kebal"

Kisah Nyata yang dialami oleh al-Maghfurlah Habibana Munzir al-Musawa. Sebuah renungan menjelang #Haul Beliau (22 Agustus 2015). 


FOTO/GAMBAR HANYA ILUSTRASI 

Pernah ada seorang pemabuk dan preman yang menjadi biang kriminal, konon katanya sering menyiksa dan membunuh juga, orang-orang tidak melihatnya memiliki sifat baik sedikitpun. Ketika saya diadukan tentangnya, pasalnya adalah karena pemuda sekitar wilayah tersebut ingin mengadakan majelis, namun takut pada orang itu. Mereka akan didamprat dan diteror oleh si jahat itu. Ia adalah kepala kejahatan yang konon kebal dan penuh ilmu jahat.

Lalu saya datangi rumahnya, saya ucapkan salam dan ia tidak menjawab, ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat saya dari atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa?!!” Saya mengulurkan tangan dan ia mengulurkan tangannya, kemudian saya mencium tangannya, lalu saya pandangi wajahnya dengan lembut dan penuh keramahan.



Saya berkata dengan suara rendah dan lembut, “Saya mau mewakili pemuda disini, untuk mohon restu dan izin pada Bapak, agar mereka diizinkan membuat majelis di Musholla dekat sini.” Ia terdiam… roboh terduduk di kursinya dan menunduk. Ia menutup kedua matanya. Saat ia mengangkat kepalanya saya tersentak, saya kira ia akan menghardik dan mengusir, ternyata wajahnya merah dan matanya sudah penuh airmata yang banyak.

Ia tersedu-sedu seraya berkata, “Seumur hidup saya belum pernah ada Kyai datang ke rumah saya… Lalu kini… Pak Ustadz datang ke rumah saya, mencium tangan saya… tangan ini belum pernah dicium siapapun. Bahkan anak-anak saya pun jijik pada saya, dan tak pernah mencium tangan saya, semua tamu saya adalah penjahat, mengadukan musuhnya untuk dibantai, menghamburkan uangnya pada saya agar saya mau berbuat jahat lagi dan lagi…. Kini datang tamu minta izin pengajian pada saya?. Saya ini bajingan, kenapa minta izin pengajian suci pada bajingan seperti saya?.”

Ia menciumi tangan dan kaki saya sambil menangis, ia bertobat, ia sholat, dan meninggalkan minuman keras dan dunia kriminal. Konon dia ini sering mabuk, jika sudah mabuk maka tak ada di kampung itu yang berani keluar rumah. Namun kini terbalik, ia menjadi pengaman di sana, tak ada orang mabuk berani keluar rumah jika ada dia. Dia menjadi koordinator Musholla, ia mengatur teman-temannya (para preman) untuk membersihkan Musholla, dipaksa anak buahnya harus hadir majelis, dan demikianlah keadaannya.

Ia bertempat di Legoa, Priok (Jakarta Utara), tempat yang sangat rawan dengan kriminal. Orang di wilayah itu jika saya datang mereka berbisik-bisik, “Jagoan selatan lagi ketemu jagoan utara!” Mereka mengira bahwa saya mengalahkannya dengan ilmu, padahal hanya kelembutan Muhammad saw yang saya gunakan.

 -------------------------------------------------------------------------

Kejadian lain adalah ketika paman saya mengadakan perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Beliau bersama anak-anaknya. Ketika masuk pelabuhan Bakauheni Lampung, beliau melihat seorang berwajah bengis dan menakutkan sedang duduk di pintu pelabuhan. Paman saya bersalam padanya dengan lembut. Si garang itu tidak menjawab dan wajahnya tanpa ekspresi sedikitpun dan acuh saja.

Lalu paman saya membeli tiket kapal yang ternyata dipalsu oleh calo. Beliau terjebak dalam penipuan. Ketika paman saya bingung dan mulai dikerumuni oleh orang-orang yang menonton, maka si garang itu muncul. Semua orang mundur melihat ia datang, lalu ia berkata, “Ada apa Pak?”. Kemudian Paman saya bercerita akan penipu itu. Si Garang berkata, “Bagaimana ciri-ciri orang itu?” Paman saya menceritakannya….

Si Garang pergi beberapa menit, kemudian datang kembali sambil menyeret si penipu yang sudah babak belur dihajarnya. Ia berkata kepada penipu itu, “Kamu sudah menipu keluarga saya! Ini keluarga saya!” sambil menunjuk paman saya. Rupanya si garang ini adalah preman penguasa pelabuhan. Bagaimana ia bisa mengakui paman saya sebagai saudaranya? kenal pun tidak, hanya karena paman saya mengucap salam padanya dengan ramah. Walau wajahnya tidak berekspresi saat itu, tapi ternyata hatinya hancur, ia malu dan haru. Mungkin seumur hidupnya belum pernah ada orang mengucap salam padanya dengan hormat. Inilah beberapa contoh.

-----------------------------------------------------------------------------

Contoh lainnya adalah ketika saya berada di suatu masjid, yang memang sudah menjadi kebiasaan saya apabila berjumpa dengan siapapun yang lebih tua (baik ulama atau bukan), maka saya mencium tangannya. Selesai acara, terdengar kabar bahwa seorang muadzin Masjid itu ternyata adalah pencuri kotak amal Masjid. Ia bertobat dan mengakui dosanya kepada sesepuh Masjid. Ia menangis dan berkata, “Tangan saya kotor dengan dosa, hati saya hancur ketika tangan saya ini dicium oleh habib itu. Saya menyesal, saya haru, saya terpukul, tangan ini selalu mencuri, tidak pantas dicium oleh seorang tokoh agama.” Ia pun bertobat.


-----------------------------------------------------------------------------

Di lain kesempatan ketika saya berada di negeri timur tengah, saya melihat bandara penuh dengan tentara berwajah bengis beserta senjata laras panjang di pundaknya sedang berjaga-jaga. Saya bersalam pada seorang yang tampak bengis sekali. Saya menunduk hormat dan senyum lembut. Ia tak menggubrisnya, hanya mendelik dan pergi. Tak lama saya terkena sedikit masalah di pintu imigrasi, hanya pertanyaan-pertanyaan iseng yang sering dilancarkan petugas imigrasi di pelbagai Negara. Tiba-tiba ada yang membentak di belakang saya. Ia memerintahkan agar petugas imigrasi segera melewatkan saya. Ketika saya berpaling ternyata tentara yang tadi. Ia lantas menarik baju saya untuk segera melalui pintu detektor pengaman bersamanya dan menghardik petugas pengaman untuk minggir seraya berkata dengan bahasa arab, “Silahkan Tuan!” Saya mengucap terimakasih, ia hanya mengangguk dan pergi. Subhanalloh…. 

-------------------------------------------------------------------------------

[HIKMAH dan PESAN MORAL] Oleh: Habib Munzir

Jadikanlah kehidupan Anda saat ini sebagai medan Jihad, Anda sedang di medan laga, berjihad menundukkan musuh-musuh Anda, yaitu mereka yang mengajak Anda kepada kemungkaran, tundukkan mereka, kalahkan mereka. Namun bukan dengan kekerasan dan kebengisan atau senjata, namun tundukkan dengan kelembutan dan kasih sayang, tundukkan dengan akhlak dan bantuan, tundukkan dengan kesopanan dan keramahan. Niscaya mereka akan tunduk dan menjadi berubah baik, dan menjadi teman anda.

Jika anda tidak mampu menundukkan mereka dengan hal itu, maka jangan kalah pula dengan mereka, tetaplah dalam ketenangan, kelembutan, hadirkan cahaya kelembutan Alloh SWT saat bercakap-cakap dan bertemu mereka. Anda akan lihat cahaya Alloh SWT akan membuat mereka tunduk atau paling tidak mereka akan segan dan tidak mau mengganggu anda, malu, dan berusaha tidak terlihat Anda saat bermaksiat.

Sungguh orang-orang yang terjebak dalam kemungkaran itu mempunyai kebaikan di hati kecilnya. Saya berkali-kali menemukan itu di hati mereka, namun kebaikan itu tersembunyi dalam kesombongan mereka. Demikian indahnya akhlak… demikian senjata yang lebih tajam dari pedang dan lebih mengalahkan dari peluru… ia mengalahkan musuh dan membuat musuh berbalik menjadi penolong dan pembela. Jika mereka yang gelap dan penjahat sedemikian mudahnya lebur, apalagi orang yang berilmu saudaraku. Demikian saudaraku yang ku muliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita.

Wallohu a’lam. #NB: FOTO/GAMBAR HANYA ILUSTRASI
--------------------------------------------------------------------------
Disarikan oleh Ahmad Ulul Azmi melalui Kutipan Tausiyah Habib Munzir. [RBBT, 10 Agustus 2015 | 15:10 UTC+7]

0 komentar:

Postingan Terpopuler